Menjelang akhir tahun 2019, Forum
Lingkar Pena (FLP) bekerjasama dengan
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mengadakan kegiatan sosialisasi
bertema kan “Sosialisasi Aceh Tangguh Melalui Literasi 4.0”. Materi atau tema
ini penting untuk disosialisasikan karena faktanya Indonesia berada di kawasan rawan bencana atau dikenal juga dengan istilah
Ring of Fire, tidak terkecuali
Provinsi Aceh itu sendiri. Banyak hal yang masih harus dipelajari guna
menghadapi datangnya bencana. Salahsatunya menghadirkan sikap kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana. Sikap kesiapsiagaan bencana sangat penting dilakukan
guna untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana itu sendiri. Faktanya,
Negara Indonesia termasuk ke dalam 5 negara yang paling sering terjadi bencana
alam termasuk Negara JEpang, Amerika, Australia dan China.
Sebelumnya disebutkan, bahwa kawasan
Indonesia berada dalam kawasan rawan bencana. Nah Bencana itu sendiri apa sih ?
Seberapa penting untuk dipelajari? Dan apa saja hal-hal mengenai bencana yang
harus dipelajari atau diketahui? Khususnya generasi milenial yang diharapkan
mampu membantu pemerintah dalam mewujudkan terbentuknya masyarakat tanggap
bencana melalui literasi revolusi industri 4.0.
Jika dilihat dari segi definisi yang
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis. UU nomor 24 sudah mendefinisikan
bahwa bencana dapat terbagi 3 jenis, yaitu bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
Bencana alam adalah
bencana yang disebabkan oleh alam, misalnya kejadian Tsunami yang
terjadi di
Aceh beberapa tahun silam, tepatnya tahun 2006. Bencana non-alam yaitu bencana yang
disebabkan oleh faktor non-alam, termasuk didalamnya seperti gagal teknologi, epidemik,
dan masih banyak lainnya. Terakhir, bencana sosial yang merupakan bencana yang
diakibatkan oleh manusia, baik itu berupa konflik antar suku, antar kelompok
ataupun antar masyarakat, termasuk teror yang kerap terjadi belakangan ini.
Menurut Pak
Jamaluddin yang merupakan seorang TOT Nasional Manajemen Bencana (BNPB),
menjelaskan bahwa hal-hal mengenai mitigasi bencana sangat perlu untuk dipelajari.
Terdapat beberapa persepsi yang keliru dikalangan masyarakat mengenai hakikat
bencana itu sendiri. Perlu adanya perbaikan mindset dimana salah satunya beliau
menyebutkan bahwa tidak selalu bencana alam itu berdampak buruk, dalam artian
terkadang bencana dikirim Tuhan agar membuat alam menjadi tetap seimbang. Sebagai
contoh, banjir yang kerap terjadi akhir-akhir ini dan juga aliran lava letusan gunung berapi jika
dilihat dari sudut pandang positif, maka dapat memberikan manfaat bagi
keseimbangan alam. Hal ini disebabkan karena setiap bencana banjir dan letusan
gunung berapi berakhir, daerah-daerah tersebut menjadi lebih subur dari
sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan material-material yang terbawa pada saat
bencana tersebut terjadi. Jadi, bencana bisa dipandang secara luas dan dari
berbagai sudut. Tentu saja, kita tidak pernah mengharapkan bencana itu terjadi,
namun, tidak dapat dipungkiri, bencana tetap akan menghantui negara kita, oleh
sebab itu perlu dilakukan peningkatan kapasitas kewaspadaan guna untuk
menghadapi ancama dan kerentanan yang terjadi.
Pak Jamaluddin Memberikan Materi Mengenai Mitigasi Bencana (Sumber: Dokumen Pribadi) |
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dalam definisi bencana, bahwa bencana bersifat merusak, baik dari segi fisik maupun non-fisik. Oleh karena itu, perlu adanya antisipasi atau usaha dari segala elemen baik itu pemerintah, stake holder, akademisi, aktivis dan masyarakat guna untuk mencapai kesiapsiagaan bencana dan mengurangi terjadinya risiko kerusakan. Banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya penanggulangan bencana melalui kearifan lokal, kemudian pengadaan seminar dan pelatihan-pelatihan kebencanaan, pameran kebencanaan (exhibition) dan pemaparan informasi melalui literasi digital.
Jika dilihat dari
unsur demografi sekarang ini, generasi milenial mendominasi jumlah penduduk di
Indonesia. Generasi ini identik dengan pemahaman dan pemanfaatan dunia digital
dan teknologi yang lebih baik dibandingkan generasi sebelumnya. Generasi ini juga
secara umum masih berada pada usia yang produktif dimana segala fungsi fisik
dan mental masih tergolong kategori baik. Oleh karena itu, generasi ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam membantu pemerintah
guna mempersiapkan sikap kesiapsiagaan bencana atau segala hal yang berhubungan
dengan mitigasi bencana. Literasi revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan
pemanfaatan teknologi secara optimal juga membutuhkan satu keterampilan atau skill yang utama selain membaca dan
menulis, yaitu keterampilan berpikir kritis. Dengan kata lain kemampuan generasi
sekarang untuk mengambil, mengolah informasi perlu “dibijaksanakan”.
Pemanfaatan dunia
digital literasi atau literasi informasi revolusi industri 4.0 menjadi topik hangat untuk diilanjutkan atau
disempurnakan. Pemerintah tentu saja sejak beberapa tahun belakangan sudah
mencoba menggabungkan antara penyediaan informasi berbasis digital dalam
menyampaikan informasi terkait kebencanaan, salah satunya melalui penerapan
materi kebencanaan ke dalam kurikulum pendidikan, melalui penyediaan modul secara
soft copy dan juga hard copy.
Banyak hal yang
dapat dilakukan guna untuk memajukan konsep mitigasi bencana khususnya melalui
literasi informasi revolusi industri 4.0.
masing-masing dari kita punya tanggung jawab. Sudah waktunya, pusat
kebaikan dibagikan kepada orang banyak,khususnya pembagian ilmu mengenai
mitigasi bencana. Perhatian bersama diperlukan, agar hidup lebih bermakna.
No comments:
Post a Comment